Rabu, 07 Desember 2016

kelompok yang termarjinalkan

Hilangkan Stigma Negatif, Stay Possitif !
“Penyandang disable yang termarjinalkan”
Baru saja pada tanggal 3 desember, di peringati hari difabel atau Hari Penyandang cacat Internasional. Hari Penyandang cacat Internasional adalah peringatan hari difabel atau Hari Penyandang Cacat Internasional adalah peringatan internasional yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1992 dan diperingati setiap tanggal 3 Desember. Peringatan ini bertujuan untuk mengembangkan wawasan masyarakat akan persoalan-persoalan yang terjadi berkaitan dengan kehidupan para penyandang cacat dan memberikan dukungan untuk meningkatkan martabat, hak, dan kesejahteraan para penyandang cacat.
Difabel (Different Ability People ) atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a)      penyandang cacat fisik;
b)      penyandang cacat mental; serta
c)      penyandang cacat fisik dan mental
Orang yang disabilitas termasuk kelompok orang yang termarjinalkan dalam lingkungan masyarakat, banyak orang disabilotas yang tersembunyi terlantar dan jauh untuk mencapai akses pendidikan, kesehatan dan interaksi sosial yang mengakibatkan mereka hidup terpinggir dan tercabut hak- hak dasar mereka. Kurangnya kesadaran masyarakat terutama keluarga yang memberikan cap buruk terhadap mereka yang menyandang disabilitas dan menganggap mempunyai seorang yang disabilitas dalam keluarga itu memalukan, kemudian banyak dari mereka yang menelantarkan penyandang disabilitas ini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (difabel) bertujuan untuk menciptakan/agar:
·         upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
·         setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
DPR menilai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (difabel) sudah tidak sesuai dengan paradigma terkini mengenai kebutuhan penyandang disabilitas dan merancang RUU inisiatif DPR tentang penyandang disabilitas. Rapat Paripurna DPR yang digelar pada Kamis, 17 Maret 2016, akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Penyandang Disabilitas. Rancangan tersebut akan menjadi undang-undang 30 hari sejak disahkan DPR, dengan atau tanpa tanda-tangan presiden.
Meskipun ada Undang- Undang mengenai disabilitas seperti yang terpapar di atas, nyatanya program kebijakan pemerintah bagi penyandang disabilitas (penyandang cacat) cenderung berbasis belas kasihan (charity), sehingga kurang memberdayakan penyandang disabilitas untuk terlibat dalam berbagai masalah. Kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas menyebabkan perlakuan pemangku kepentingan unsur pemerintah dan swasta yang kurang peduli.
            Dilingkungan pendidikan, bahkan banyak dari penyandang disabilitas ditolak terang- terangan di sekolah umum karena stigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas, atau bisa disebut juga dengan anak yang berkebutuhan khusus adalah seseorang yang lemah dan tidak bisa apa- apa. Hal inipun terlihat dari,
 pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat (4)menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan.
Meskipun sudah diatur dalam beberapa peraturan di atas tentang anak disabilitas atau Anak berkebutuhan khusus akan tetapi, bukankah tidak semua penyandang disabilitas itu lemah dan tidak berdaya ? bahkan banyak dari mereka yang memiliki prestasi yang sangat membanggakan yang bisa di apresiasi serta menjadi motivasi bagi kita. Berikut beberapa penyandang disabilitas yang sangat berprestasi di bidangnya :
1.      M Ade Irawan 

Merupakan penyandang tunanetra. Tahun 1999, Ade diajak orang tuanya jalan ke mal, Ade menekan tuts piano dan berbunyi. Spontan, Ade langsung meminta dibelikan alat musik itu. Satu keyboard Casio pun mulai menjadi teman Ade saat usia 7 tahun. Ade kemudian mengagumi musisi jazz George Benson dan setahun kemudian, dia memutuskan memilih jazz sebagai musik pilihannya. Sang bos MURI, Jaya Suprana, kemudian menaruh perhatian padanya. Jaya membuatkan Ade pagelaran resital tunggal pada Juni 2010 lalu, dan menjulukinya Ade ‘Wonder’ Irawan, merujuk musisi tunanetra, Stevie Wonder. Ade juga menjadi penampil pada Java Jazz Festival 2010 lalu.
2.      Muhammed Zulfikar Rakhmat

Sejak lahir dia mengalami gangguan syaraf motorik, sehingga kedua tangannya sulit bergerak. Kondisi itu juga membuatnya gagap, tak lancar bicara. Namun, di balik segala kekurangan itu, pemuda Semarang ini punya prestasi cemerlang. Dia lulus dari jurusan Hubungan Internasional di Universitas Qatar. Program sarjana itu bisa dia selesaikan dalam kurun tiga setengah tahun saja. Soal nilai, jangan ditanya. Dia lulus dengan nilai hampir sempurna: 3,93. Prestasi mencorong ini pula yang membuatnya mendapat beasiswa penuh untuk kuliah ke jenjang lebih tinggi lagi.
3.      Angkie Yudistia
Dia menderita tunarungu sejak usianya masih 10 tahun. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di sekolah umum sejak sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Angkie kemudian menyelesaikan studinya di jurusan periklanan di London School of Public Relations(LSPR), Jakarta, dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,5. Di kampus yang sama, Angkie bahkan telah meraih gelar master setelah lulus dari bidang komunikasi pemasaran lewat program akselerasi. Di usianya yang masih 25 tahun, Angkie sudah menjadi founder dan CEO (chief executive officer) Thisable Enterprise. Perusahaan yang didirikan bersama rekannya itu fokus pada misi sosial, khususnya membantu orang yang memiliki keterbatasan fisik alias difabel.
4.      Heri Hendrayana Harris

Atau nama ngetopnya Gola Gong, merupakan penulis novel “Balada Si Roy” yang terkenal era 80-an. Gola Gong kehilangan tangan kirinya sejak usia 11 tahun lantaran terjatuh dari pohon. Selain menulis novel, Gola Gong yang juga seorang traveller, gemar juga menulis cerita-cerita perjalanan. Sejak 2001 dia mendirikan komunitas kesenian Rumah Dunia di lahan 1.000 meter persegi di belakang rumahnya di kawasan Komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, Banten. Di Rumah Dunia, Gola Gong menyebarkan virus “Gempa Literasi”, yaitu gerakan kebudayaan menghancurkan kebodohan lewat kata (sastra dan jurnalistik), swara (musik), rupa (teater dan film), dan warna (melukis).
5.      Stephanie Handojo

Sejak lahir mengidap downsyndrome, Meskipun punya kekurangan, ia dapat membuktikan dirinya mampu berprestasi tinggi. Saat menginjak usia 12 tahun, ia berhasil meraih juara 1 pada kejuaraan Porcada. Selain itu, ia juga tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) karena mampu bermain piano dengan 22 lagu selama 2 jam. Dia bahkan terpilih mewakili Indonesia di ajang Special Olympics World 2011 di Athena, Yunani. Stephanie kemudian meraih medali emas dari cabang renang nomor 50 meter gaya dada.
Itu tadi beberapa orang penyandang difable yang mampu meraih prestasi yang sangat membanggakan di balik keterbatasan yang ia miliki, jika kita lihat dari beberapa uraian di atas, bahkan ada yang sekolah di sekolah umum meskipun itu sulit, jadi tergantung jenis difable apa yang mereka miliki, jika fasilitas dan lingkungan mendukung meskipun itu lingkungan pendidikan umum maka seorang penyandang difable bisa maksimal dalam pembelajaran, akan tetapi stigma yang sebelumnya mengenai penyandang difable lah menyebabkan mereka mau tidak mau menjadi berada di lingkungan yang terisolasi dari dunia luar, yakni di khususkan. Jika kita berfikir positif sedikit saja dan menghilangkan stigma negatif, maka orang yang difable (tergantung jenis difablenya) bisa bersekolah di sekolah umum, lingkungan yang mendukung mereka, dan tidak mengaggap remeh mereka maka akan menumbuhkan kekuatan dan sikap mandiri bagi penyandang di fable.
Demikian tulisan dari saya semoga isi dari tulisan saya bisa bermanfaat bagi para pembaca, jika ada kesalahan kata atau kalimat dan menyinggung pihak tertentu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terimakasih.
Oleh : Sabillah Ayu Fania
Sumber :
(https://id.wikipedia.org/wiki/Difabel)

(http://jadiberita.com/75033/5-orang-indonesia-penyandang-disabilitas-tapi-                                   berprestasi.html)

orang-orang yang termarjinalkan

Orang Miskin yang Termarjinalkan

Mungkin banyak orang  yang memikirkan hal yang sama dengan saya, Mengapa Negara ini tetap miskin padahal di negara ini memiliki sumber alam yang melimpah, batu bara, timah, minyak, gas alam, nikel, semua itu ada di indonesia akan tetapi kemiskinan di indonesia tetap ada meskipun mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah, mengapa impor beras padahal orang indonesia bisa menanam beras di sawahnya yang luas, mengapa hal ini masih terjadi yakni kemiskinan. Sebelum membahas inti dari tulisan saya kali ini berikut adalah definisi mengenai kemiskinan.
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.
Hukum yang kita warisi sekarang berasal dari negara kolonial yang diskriminatif dan opresif (dan jangan lupa: apartheid alias pemisahan golongan penduduk menurut garis rasial yang menjadi basis legitimasinya) serta terorisme negara (state terrorism) Orde Baru dengan segenap kelembagaan hukum (pengadilan, penuntutan, kepolisian, dan militer yang ikut-ikutan mengekalkan penghukuman yang arbitrary dan melanggar HAM lewat praktek kidnapping, forced disappearance, torture terhadap aktivis dan ‘musuh’ negara) dan personelnya yang militeristik dan anti-HAM yang sangat tidak ramah pada orang miskin. Karena rule of law yang menjadi salah satu ciri demokrasi digantikan rule of men. Pentas politik nasional didominasi interplay antara the big men istana kepresidenan, birokrasi dengan teknokrasinya, militer, dan konglomerasi. Prinsip kesamaan di muka hukum dan akses kepada sumber daya dan perlindungan dari sistem hukum dan sistem yudisial tidak menyentuh kelompok-kelompok sosial tak berdaya dan termarjinalkan seperti masyarakat desa tertinggal, masyarakat miskin perkotaan, masyarakat kurang sejahtera, masyarakat dilanda konflik, bencana, dan segmen masyarakat terbelakang lain (petani, buruh, perempuan subyek kuasa patriarki). Orang miskin sangat tidak berdaya dihadapan struktur mega seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan penjara. Walau sadar hak-haknya, mereka cenderung untuk bersikap pasrah, voiceless, karena tuduhan melakukan kejahatan adalah harga mati yang harus terbukti. Proses peradilan menjadi proses penyingkiran, proses memper-lain-kan yang lain, yang dikonstruksi menyimpang dari kenormalan, yang benar menurut teks (othering the others). Mereka penjahat-penjahat adalah the others, yang mutlak harus dipersalahkan, tidak pernah sisi batinnya diungkap dan didengarkan, hak-haknya sebagai manusia dan warga negara yang dilindungi konstitusi ditelikung; disiksa, disumpah-serapahi, diancam dituntut maksimal agar mengaku. Semuanya tereduksi dalam berjilid-jilid BAP yang tak lebih berisi intimidasi dan interpretasi alat-alat kekerasan negara (polisi), lembar-lembar administrasi, daftar papan penahanan, ritual sidang, vonis dan daftar narapidana. Si miskin yang penjahat itu hanya bisa menunduk (submissive), menghamba untuk memohon keringanan hukuman: ampun Pak Jaksa, ampun Pak Hakim!! Mereka miskin karena kebijakan penguasa dan produk relasi kekuasaan menurut struktur sosial yang ada (prevailing system). Orang miskin tidak menentukan hidupnya sendiri: mau jadi apa ia nanti, mau mengapa, berbuat apa, dst. Hidupnya ditentukan oleh yang berkuasa. “Dunianya dipersempit secara kejam”. Mereka tak berdaya, dan karena itu hanya sekadar melakoninya. Mereka itu korban, produk sosial, tapi dikejar, diburu, dihukum, dieksekusi semena-mena (blaming the victims). Hukum yang tertuang dalam teks tak akan mungkin mampu menuntaskan misteri sebab pelaku (si aktor) melakukan illicit conduct. Ia adalah misteri sosial, dan jawabannya terletak dalam sistem sosial itu sendiri (yakni rekonstruksi atau malah dekonstruksi dalam wujud revolusi sosial seperti yang dikehendaki kaum yang terproletarkan) karena ia adalah produk “sampingannya”. Maka, ada ungkapan kejahatan berkembang seiring perkembangan sosial itu sendiri. Dalam pikiran Antonio Gramsci, kelompok-kelompok sosial yang menjadi subyek hegemoni kelas berkuasa dan kehilangan akses kepada hukum dan kekuasaan itu disebut sebagai kelas subaltern.
Dari definisi tersebut diatas bisa kita lihat bahwa orang yang miskin nyatanya termarjinalkan atau dengan kata lain terkucilkan darilingkungannya bahkan di bidang- bidang tertentu seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan hukum, hal inipun terlihat jelas di mana ada kasus seorang nenek yang bernama asyani dan kasus labora sitorus,
Peristiwa itu bermula saat nenek Asyani dan Ruslan, menantunya, yang tinggal di Dusun Secangan, Situbondo memindahkan kayu jati dari rumahnya ke rumah Cipto (tukang kayu) untuk dijadikan peralatan kursi. Akan tetapi, pihak Perhutani menganggap ketujuh batang kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil "illegal logging" dan segera diproses secara hukum. Sesungguhnya, kayu-kayu tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami Asyani yang dilakukan lima tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan itu dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani.Perhutani memerkarakan nenek itu PN Situbondo menggunakan Pasal 12 d juncto Pasal 83 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberatasan dan Pencegahan Perusakan Hutan. Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan bahwa apa yang dilakukan Perum Perhutani hanya melaporkan tindakan pencurian aset milik negara tanpa menyebutkan orang per orang.
Pada kasus Labora Sitorus (LS)--anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai Rp 1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal logging--Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Merasa tak puas, LS dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Kasasinya ditolak, justru dia mendapatkan tambahan hukuman menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar dengan subsider satu tahun kurungan. Labora terbukti melanggar Pasal 3 Ayat (1) UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hakim Agung menolak kasasi LS dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Keputusan ini tentunya memiliki kekuatan hukum tetap yang harus dia patuhi. Akan tetapi, yang terjadi LS tidak patuh karena memiliki surat bebas yang kabarnya dikeluarkan Plt kepala LP. Berkat kekuatan uangnya, LS sempat tidak berada di lapas tanpa alasan yang jelas, bahkan mendapatkan surat bebas yang dikeluarkan pihak lapas tanpa ada dasar hukumnya. Kepala Kejaksaan Negeri Sorong Darmah Muin pertengahan Januari 2015 kemudian mengeluarkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap Labora.
Dalam beberapa kasus, terutama apabila berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, dan politik, , orang miskin selalu saja tidak berdaya dan menjadi korban. Masih banyak lagi fakta ketika para koruptor dan penjahat berdasi diperlakukan sangat berbeda dengan orang kecil yang terjerat kasus hukum. Hal itu membuktikan bahwa orang miskin termasuk kelompok yang termarjinalkan, salah satunya di bidang hukum, peradilan di indonesia.
 Demikian pemaparan dari saya jika ada salah kata ataupun kata- kata yang menyinggung pihak tertentu saya mohon maaf yang sebesar- besarnya, semoga tulisan saya bermanfaat bagi para pembaca, Terimakasih.
Sumber :

(http://sp.beritasatu.com/home/nenek-asyani/)