Orang Miskin yang Termarjinalkan
Mungkin banyak
orang yang memikirkan hal yang sama
dengan saya, Mengapa Negara ini tetap miskin padahal di negara ini memiliki
sumber alam yang melimpah, batu bara, timah, minyak, gas alam, nikel, semua itu
ada di indonesia akan tetapi kemiskinan di indonesia tetap ada meskipun
mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah, mengapa impor beras padahal orang
indonesia bisa menanam beras di sawahnya yang luas, mengapa hal ini masih
terjadi yakni kemiskinan. Sebelum membahas inti dari tulisan saya kali ini
berikut adalah definisi mengenai kemiskinan.
Kemiskinan
adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,
dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai
cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran
kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari,
sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran
tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan
tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah
diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
Gambaran
tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik
dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari
objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi
tempatnya bekerja melarang.
Hukum yang kita
warisi sekarang berasal dari negara kolonial yang diskriminatif dan opresif
(dan jangan lupa: apartheid alias pemisahan golongan penduduk menurut garis
rasial yang menjadi basis legitimasinya) serta terorisme negara (state
terrorism) Orde Baru dengan segenap kelembagaan hukum (pengadilan, penuntutan,
kepolisian, dan militer yang ikut-ikutan mengekalkan penghukuman yang arbitrary
dan melanggar HAM lewat praktek kidnapping, forced disappearance, torture
terhadap aktivis dan ‘musuh’ negara) dan personelnya yang militeristik dan
anti-HAM yang sangat tidak ramah pada orang miskin. Karena rule of law yang
menjadi salah satu ciri demokrasi digantikan rule of men. Pentas politik
nasional didominasi interplay antara the big men istana kepresidenan, birokrasi
dengan teknokrasinya, militer, dan konglomerasi. Prinsip kesamaan di muka hukum
dan akses kepada sumber daya dan perlindungan dari sistem hukum dan sistem
yudisial tidak menyentuh kelompok-kelompok sosial tak berdaya dan
termarjinalkan seperti masyarakat desa tertinggal, masyarakat miskin perkotaan,
masyarakat kurang sejahtera, masyarakat dilanda konflik, bencana, dan segmen
masyarakat terbelakang lain (petani, buruh, perempuan subyek kuasa patriarki).
Orang miskin sangat tidak berdaya dihadapan struktur mega seperti pengadilan,
kejaksaan, kepolisian dan penjara. Walau sadar hak-haknya, mereka cenderung
untuk bersikap pasrah, voiceless, karena tuduhan melakukan kejahatan adalah
harga mati yang harus terbukti. Proses peradilan menjadi proses penyingkiran,
proses memper-lain-kan yang lain, yang dikonstruksi menyimpang dari kenormalan,
yang benar menurut teks (othering the others). Mereka penjahat-penjahat adalah
the others, yang mutlak harus dipersalahkan, tidak pernah sisi batinnya
diungkap dan didengarkan, hak-haknya sebagai manusia dan warga negara yang
dilindungi konstitusi ditelikung; disiksa, disumpah-serapahi, diancam dituntut
maksimal agar mengaku. Semuanya tereduksi dalam berjilid-jilid BAP yang tak
lebih berisi intimidasi dan interpretasi alat-alat kekerasan negara (polisi),
lembar-lembar administrasi, daftar papan penahanan, ritual sidang, vonis dan
daftar narapidana. Si miskin yang penjahat itu hanya bisa menunduk
(submissive), menghamba untuk memohon keringanan hukuman: ampun Pak Jaksa,
ampun Pak Hakim!! Mereka miskin karena kebijakan penguasa dan produk relasi
kekuasaan menurut struktur sosial yang ada (prevailing system). Orang miskin
tidak menentukan hidupnya sendiri: mau jadi apa ia nanti, mau mengapa, berbuat
apa, dst. Hidupnya ditentukan oleh yang berkuasa. “Dunianya dipersempit secara
kejam”. Mereka tak berdaya, dan karena itu hanya sekadar melakoninya. Mereka itu
korban, produk sosial, tapi dikejar, diburu, dihukum, dieksekusi semena-mena
(blaming the victims). Hukum yang tertuang dalam teks tak akan mungkin mampu
menuntaskan misteri sebab pelaku (si aktor) melakukan illicit conduct. Ia
adalah misteri sosial, dan jawabannya terletak dalam sistem sosial itu sendiri
(yakni rekonstruksi atau malah dekonstruksi dalam wujud revolusi sosial seperti
yang dikehendaki kaum yang terproletarkan) karena ia adalah produk
“sampingannya”. Maka, ada ungkapan kejahatan berkembang seiring perkembangan
sosial itu sendiri. Dalam pikiran Antonio Gramsci, kelompok-kelompok sosial
yang menjadi subyek hegemoni kelas berkuasa dan kehilangan akses kepada hukum
dan kekuasaan itu disebut sebagai kelas subaltern.
Dari definisi
tersebut diatas bisa kita lihat bahwa orang yang miskin nyatanya termarjinalkan
atau dengan kata lain terkucilkan darilingkungannya bahkan di bidang- bidang
tertentu seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan hukum, hal inipun
terlihat jelas di mana ada kasus seorang nenek yang bernama asyani dan kasus
labora sitorus,
Peristiwa itu
bermula saat nenek Asyani dan Ruslan, menantunya, yang tinggal di Dusun
Secangan, Situbondo memindahkan kayu jati dari rumahnya ke rumah Cipto (tukang
kayu) untuk dijadikan peralatan kursi. Akan tetapi, pihak Perhutani menganggap
ketujuh batang kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil "illegal
logging" dan segera diproses secara hukum. Sesungguhnya, kayu-kayu
tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami Asyani yang dilakukan lima
tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan
itu dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani.Perhutani
memerkarakan nenek itu PN Situbondo menggunakan Pasal 12 d juncto Pasal 83 Ayat
(1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberatasan dan Pencegahan
Perusakan Hutan. Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan bahwa apa
yang dilakukan Perum Perhutani hanya melaporkan tindakan pencurian aset milik
negara tanpa menyebutkan orang per orang.
Pada kasus
Labora Sitorus (LS)--anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai
Rp 1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal
logging--Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan
denda Rp 50 juta. Merasa tak puas, LS dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (MA). Kasasinya ditolak, justru dia mendapatkan tambahan hukuman
menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar dengan subsider satu tahun
kurungan. Labora terbukti melanggar Pasal 3 Ayat (1) UU No. 15/2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Hakim Agung menolak kasasi LS dan mengabulkan
kasasi jaksa penuntut umum. Keputusan ini tentunya memiliki kekuatan hukum
tetap yang harus dia patuhi. Akan tetapi, yang terjadi LS tidak patuh karena memiliki
surat bebas yang kabarnya dikeluarkan Plt kepala LP. Berkat kekuatan uangnya,
LS sempat tidak berada di lapas tanpa alasan yang jelas, bahkan mendapatkan
surat bebas yang dikeluarkan pihak lapas tanpa ada dasar hukumnya. Kepala
Kejaksaan Negeri Sorong Darmah Muin pertengahan Januari 2015 kemudian
mengeluarkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap Labora.
Dalam beberapa
kasus, terutama apabila berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuatan ekonomi,
sosial, dan politik, , orang miskin selalu saja tidak berdaya dan menjadi
korban. Masih banyak lagi fakta ketika para koruptor dan penjahat berdasi
diperlakukan sangat berbeda dengan orang kecil yang terjerat kasus hukum. Hal
itu membuktikan bahwa orang miskin termasuk kelompok yang termarjinalkan, salah
satunya di bidang hukum, peradilan di indonesia.
Demikian pemaparan dari saya jika ada salah
kata ataupun kata- kata yang menyinggung pihak tertentu saya mohon maaf yang
sebesar- besarnya, semoga tulisan saya bermanfaat bagi para pembaca,
Terimakasih.
Sumber :
(http://sp.beritasatu.com/home/nenek-asyani/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar