Rabu, 07 Desember 2016

orang-orang yang termarjinalkan

Orang Miskin yang Termarjinalkan

Mungkin banyak orang  yang memikirkan hal yang sama dengan saya, Mengapa Negara ini tetap miskin padahal di negara ini memiliki sumber alam yang melimpah, batu bara, timah, minyak, gas alam, nikel, semua itu ada di indonesia akan tetapi kemiskinan di indonesia tetap ada meskipun mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah, mengapa impor beras padahal orang indonesia bisa menanam beras di sawahnya yang luas, mengapa hal ini masih terjadi yakni kemiskinan. Sebelum membahas inti dari tulisan saya kali ini berikut adalah definisi mengenai kemiskinan.
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.
Hukum yang kita warisi sekarang berasal dari negara kolonial yang diskriminatif dan opresif (dan jangan lupa: apartheid alias pemisahan golongan penduduk menurut garis rasial yang menjadi basis legitimasinya) serta terorisme negara (state terrorism) Orde Baru dengan segenap kelembagaan hukum (pengadilan, penuntutan, kepolisian, dan militer yang ikut-ikutan mengekalkan penghukuman yang arbitrary dan melanggar HAM lewat praktek kidnapping, forced disappearance, torture terhadap aktivis dan ‘musuh’ negara) dan personelnya yang militeristik dan anti-HAM yang sangat tidak ramah pada orang miskin. Karena rule of law yang menjadi salah satu ciri demokrasi digantikan rule of men. Pentas politik nasional didominasi interplay antara the big men istana kepresidenan, birokrasi dengan teknokrasinya, militer, dan konglomerasi. Prinsip kesamaan di muka hukum dan akses kepada sumber daya dan perlindungan dari sistem hukum dan sistem yudisial tidak menyentuh kelompok-kelompok sosial tak berdaya dan termarjinalkan seperti masyarakat desa tertinggal, masyarakat miskin perkotaan, masyarakat kurang sejahtera, masyarakat dilanda konflik, bencana, dan segmen masyarakat terbelakang lain (petani, buruh, perempuan subyek kuasa patriarki). Orang miskin sangat tidak berdaya dihadapan struktur mega seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan penjara. Walau sadar hak-haknya, mereka cenderung untuk bersikap pasrah, voiceless, karena tuduhan melakukan kejahatan adalah harga mati yang harus terbukti. Proses peradilan menjadi proses penyingkiran, proses memper-lain-kan yang lain, yang dikonstruksi menyimpang dari kenormalan, yang benar menurut teks (othering the others). Mereka penjahat-penjahat adalah the others, yang mutlak harus dipersalahkan, tidak pernah sisi batinnya diungkap dan didengarkan, hak-haknya sebagai manusia dan warga negara yang dilindungi konstitusi ditelikung; disiksa, disumpah-serapahi, diancam dituntut maksimal agar mengaku. Semuanya tereduksi dalam berjilid-jilid BAP yang tak lebih berisi intimidasi dan interpretasi alat-alat kekerasan negara (polisi), lembar-lembar administrasi, daftar papan penahanan, ritual sidang, vonis dan daftar narapidana. Si miskin yang penjahat itu hanya bisa menunduk (submissive), menghamba untuk memohon keringanan hukuman: ampun Pak Jaksa, ampun Pak Hakim!! Mereka miskin karena kebijakan penguasa dan produk relasi kekuasaan menurut struktur sosial yang ada (prevailing system). Orang miskin tidak menentukan hidupnya sendiri: mau jadi apa ia nanti, mau mengapa, berbuat apa, dst. Hidupnya ditentukan oleh yang berkuasa. “Dunianya dipersempit secara kejam”. Mereka tak berdaya, dan karena itu hanya sekadar melakoninya. Mereka itu korban, produk sosial, tapi dikejar, diburu, dihukum, dieksekusi semena-mena (blaming the victims). Hukum yang tertuang dalam teks tak akan mungkin mampu menuntaskan misteri sebab pelaku (si aktor) melakukan illicit conduct. Ia adalah misteri sosial, dan jawabannya terletak dalam sistem sosial itu sendiri (yakni rekonstruksi atau malah dekonstruksi dalam wujud revolusi sosial seperti yang dikehendaki kaum yang terproletarkan) karena ia adalah produk “sampingannya”. Maka, ada ungkapan kejahatan berkembang seiring perkembangan sosial itu sendiri. Dalam pikiran Antonio Gramsci, kelompok-kelompok sosial yang menjadi subyek hegemoni kelas berkuasa dan kehilangan akses kepada hukum dan kekuasaan itu disebut sebagai kelas subaltern.
Dari definisi tersebut diatas bisa kita lihat bahwa orang yang miskin nyatanya termarjinalkan atau dengan kata lain terkucilkan darilingkungannya bahkan di bidang- bidang tertentu seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan hukum, hal inipun terlihat jelas di mana ada kasus seorang nenek yang bernama asyani dan kasus labora sitorus,
Peristiwa itu bermula saat nenek Asyani dan Ruslan, menantunya, yang tinggal di Dusun Secangan, Situbondo memindahkan kayu jati dari rumahnya ke rumah Cipto (tukang kayu) untuk dijadikan peralatan kursi. Akan tetapi, pihak Perhutani menganggap ketujuh batang kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil "illegal logging" dan segera diproses secara hukum. Sesungguhnya, kayu-kayu tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami Asyani yang dilakukan lima tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan itu dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani.Perhutani memerkarakan nenek itu PN Situbondo menggunakan Pasal 12 d juncto Pasal 83 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberatasan dan Pencegahan Perusakan Hutan. Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan bahwa apa yang dilakukan Perum Perhutani hanya melaporkan tindakan pencurian aset milik negara tanpa menyebutkan orang per orang.
Pada kasus Labora Sitorus (LS)--anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai Rp 1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal logging--Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Merasa tak puas, LS dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Kasasinya ditolak, justru dia mendapatkan tambahan hukuman menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar dengan subsider satu tahun kurungan. Labora terbukti melanggar Pasal 3 Ayat (1) UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hakim Agung menolak kasasi LS dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Keputusan ini tentunya memiliki kekuatan hukum tetap yang harus dia patuhi. Akan tetapi, yang terjadi LS tidak patuh karena memiliki surat bebas yang kabarnya dikeluarkan Plt kepala LP. Berkat kekuatan uangnya, LS sempat tidak berada di lapas tanpa alasan yang jelas, bahkan mendapatkan surat bebas yang dikeluarkan pihak lapas tanpa ada dasar hukumnya. Kepala Kejaksaan Negeri Sorong Darmah Muin pertengahan Januari 2015 kemudian mengeluarkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap Labora.
Dalam beberapa kasus, terutama apabila berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, dan politik, , orang miskin selalu saja tidak berdaya dan menjadi korban. Masih banyak lagi fakta ketika para koruptor dan penjahat berdasi diperlakukan sangat berbeda dengan orang kecil yang terjerat kasus hukum. Hal itu membuktikan bahwa orang miskin termasuk kelompok yang termarjinalkan, salah satunya di bidang hukum, peradilan di indonesia.
 Demikian pemaparan dari saya jika ada salah kata ataupun kata- kata yang menyinggung pihak tertentu saya mohon maaf yang sebesar- besarnya, semoga tulisan saya bermanfaat bagi para pembaca, Terimakasih.
Sumber :

(http://sp.beritasatu.com/home/nenek-asyani/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar